Hujan Bulan Desember

Sunday, January 24, 2016

“Kamu jam berapa sampai rumah?”
“Sebentar lagi. Ini hari Jumat, Jakarta diguyur hujan. Kamu tau padatnya seperti apa, kan?”
“Baiklah, aku tunggu. Sudah kupanaskan hidangan sampai dua kali.”
“Bersabarlah, aku akan segera tiba.”
Ini malam perayaan hari jadi pernikahan yang ketiga.
Tapi suamiku tidak mengeluh, tidak pernah bersedih atas kehendak Tuhan bahwa rahimku tidak bisa memberinya keturunan. Kami bahagia, walau hanya berdua.
Kepalaku batu, masih kutunggu kedatangannya.
Rupanya pejam tidak hinggap sebentar.
You don’t know how lovely you are
I had to find you, tell you I need you
Tell you I’ll set you apart…”
Saat itu pukul 03.32. Cukup lama aku tertidur rupanya.
Nomor penelpon tak kukenal, tapi kuberanikan diri menerimanya.
“Benar ini dengan Ibu Khumaira, istri dari Bapak Abimanyu?”
Telepon itu dari Rumah Sakit di Jakarta Pusat, tidak jauh dari rumah kami.
Katanya suamiku ditemukan tewas di tempat, seketika saat ada truk dari arah berlawanan menabrak mobilnya.
Truk terkutuk itu tidak pandai membaca rambu, dihajarnya lampu merah hingga menabrak mobil suamiku.
Suamiku yang akan duduk berdua menikmati masakanku.
Suamiku yang mencintai aku selamanya, bahkan kuyakin sampai ajal menjemputnya.
Hujan di bulan Desember ini begitu deras,
tapi jauh lebih deras lagi di sini, di hatiku.


Kuletakkan ponselku tak jauh dari meja makan. Hampir dua jam aku menunggu suamiku pulang. Sudah kubuatkan hidangan kesukaannya.
Sesekali kuperhatikan gerak jarum jam, semakin gusar aku dibuatnya.
Rumah kami hanya terisi dua kepala, tidak ada tangis atau gelak tawa balita. Hanya kami berdua.
“Sayang, tidurlah lebih dulu. Tidak usah menungguku. Biarlah hidanganmu dingin, yang penting tubuhmu tidak. Pasanglah sendiri selimutmu, maaf malam ini kamu harus melakukannya sendiri bukan dengan tanganku. Aku takut tidak bisa sampai rumah tepat waktu seperti seharusnya. Tubuhku belum sampai, tapi hatiku sedang memelukmu sangat dalam. Selamat hari jadi yang ketiga. Berbahagialah selalu, karena kamu kucintai selamanya.”
Pesan itu sampai di ponselku. Menangis aku dibuatnya. Apa rupanya di kepala suamiku hingga mengetik pesan seindah ini.
Sesekali menguap, memerhatikan jarum jam lagi, lagi dan lagi…
“…Come up to meet you, tell you I’m sorry,"
Ponselku berbunyi,
“Halo… Siapa ini?”
Tak kuasa aku mendengar suara di seberang sana.
Suamiku yang paling kutunggu kedatangannya.
Tangisku pecah, lebih keras dari hujan yang jatuh di teras rumah.

__________________________________________

Repost dari ceritachacha.wordpress.com
Desember 26, 2013.


Not allowed to copy & paste photo without permission. Copyright of chachathaib . com

You Might Also Like

0 comments

FOLLOW ME